Dua puluh delapan Oktober 2019, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia merilis hasil Tim Pencari Fakta Peristiwa 21-23 Mei 2019. Dalam keterangan Pers Nomor 022/Humas/KH/X/2019, Komnas HAM menyatakan ada sepuluh warga sipil yang menjadi korban meninggal dunia dalam peristiwa 21-23 Mei tersebut. Kejadian meninggalnya warga sipil ini dikategorisasikan sebagai unlawful killing atau pembunuhan di luar hukum tanpa alasan hukum yang sah dan melanggar hukum pidana.
Jatuhnya sepuluh korban jiwa ini, empat diantaranya anak-anak, merupakan sebuah tragedi. Parahnya, hingga Komnas HAM merilis hasil Tim Pencari Fakta, Kepolisian Republik Indonesia masih belum bisa menemukan identitas pelaku penembakan tersebut. Kasus ini menambah daftar panjang kasus-kasus HAM yang belum terselesaikan hingga sekarang. Sebut saja Kasus Munir, peristiwa 1965/1966, peristiwa penembakan misterius (Petrus) 1982-1985, peristiwa penghilangan paksa aktivis 1997-1998, peristiwa Trisakti 1998, peristiwa Semanggi I 1998 dan Semanggi II 1999, peristiwa Talangsari 1989, peristiwa kerusuhan Mei 1998, maupun peristiwa Wasior Wamena 2000-2003.
Di tengah menumpuknya kasus HAM yang belum diselesaikan oleh pemerintahan Joko Widodo periode pertama, publik justru dikejutkan dengan masuknya Prabowo menjadi Menteri Pertahanan dalam Kabinet Indonesia Maju periode kepemimpinan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Masih lekat di benak publik bahwa narasi yang paling kencang diperdengarkan untuk ‘menghadang’ Prabowo adalah kasus HAM masa lalu yang belum terselesaikan hingga sekarang. Alih-alih memenuhi janji politik yang disampaikan Joko Widodo dalam sebuah forum pidato publik bahwa posisinya yang tanpa beban akan memudahkan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu, Joko Widodo justru ‘merangkul’ orang yang dianggap memiliki ‘cacat’ karena pelanggaran HAM di masa lalu.
Dilema Penegakan HAM
Kesejahteraan dan pembangunan merupakan bagian dari penegakan HAM dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam prosesnya, pembangunan membutuhkan pendekatan keamanan negara agar proses penciptaan kesejahteraan bisa terwujud secara maksimal. Keamanan dan ketertiban masyarakat menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.
Visi-misi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang ingin mewujudkan kesejahteraan dan pembangunan kemudian mewujud dalam postur Kabinet Indonesia Maju. Tidak mengherankan jika posisi strategis pendukung stabilitas keamanan diisi oleh orang-orang militer dan kepolisian. Sebut saja Menteri Dalam Negeri yang diduduki oleh Jenderal Tito Karnavian, seorang mantan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Belum lagi posisi Menteri Pertahanan yang diisi oleh Prabowo yang memiliki rekam jejak kebijakan penegakan keamanan yang sama dengan masa Presiden Soeharto, yaitu ‘pembinaan’ yang tidak mentoleransi adanya ketidakstabilan. Presiden Joko Widodo juga menempatkan Jenderal Purnawirawan Fachrul Razi, mantan wakil Panglima TNI masa Presiden Gus Dur, sebagai menteri agama. Kasus yang belakangan paling sering hadir dan menghantam posisi Presiden Jokowi adalah hadirnya kelompok kanan yang gencar menuntut keadilan atas nama agama. Duduknya Fachrul Razi menjadi menteri agama dibaca sebagai cara agar instabilitas yang muncul akibat gerakan-gerakan yang mengatasnamakan agama dapat segera ‘ditertibkan’. Trio militer polisi ini akan efektif digunakan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban di dalam maupun ke luar negeri.
Masuknya sejumlah militer dan polisi dalam Kabinet Indonesia Maju menghadirkan dilema dalam penegakan HAM terutama terkait dengan hak sipil dan politik. Dalam menjalankan tugasnya untuk menegakkan keamanan demi terselenggaranya pembangunan, tidak jarang TNI/POLRI cenderung represif. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana peran aparat keamanan dalam menegakkan keamanan negara harus bersanding dengan tugasnya memberi jaminan keamanan secara sosial kemanusiaan. Ketidakmampuan untuk menyeimbangkan peran tersebut akan berakibat pada sulitnya mewujudkan penegakan HAM, apalagi menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu. (Septi Satriani)