Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Anak telah melakukan beberapa putaran pertemuan dengan kelompok yang berbeda untuk membahas Rencana Aksi Nasional /National Action Plan untuk melaksanakan UNSCR 1325 pada 2009-2010. Resolusi PBB 1325 berfokus pada dampak perang terhadap perempuan dan kontribusi perempuan untuk mencegah konflik dan membangun perdamaian. Rancangan ini masih dalam proses, dan beberapa diskusi telah diadakan di mana perwakilan dari LSM, juga kementerian menghadiri untuk memberikan umpan balik.
Rencana aksi nasional (RAN ) atau strategi tingkat nasional dibangun berdasarkan aspek-aspek pemetaan konteks konflik, situasi damai, kondisi perempuan, prioritas, peta potensi sumber daya untuk mewujudkan perdamaian dan keamanan. RAN ini juga diharapkan berisi langkah-langkah strategis, serta disesuaikan ke dalam suatu time frame tertentu. . Seluruh proses pengembangan dan perencanaan RAN berada pada spektrum peningkatan kesadaran dan pengembangan kapasitas nasional untuk mengatasi kesenjangan kesetaraan genderPerlu diingat pula, RAN bukanlah satu-satunya cara untuk mengembangkan kebijakan . tentang perempuan, perdamaian dan keamanan. Beberapa negara dapat memilih untuk memasukkan isu-isu mainstream yang berkaitan dengan perempuan perdamaian dan isu-isu keamanan menjadi kerangka kebijakan.
Mengatasi kemungkinan kendala dari latar belakang budaya yang sangat beragam di Indonesia, peran perempuan, aktivis yang terlibat dalam penyusunan RAN Indonesia menyarankan posisi politik diperlukan untuk menjamin pelaksanaannya. Hal ini diutarakan dalam pertemuan yang difasilitasi oleh LIPI dan HDC di Hotel Sultan Jakarta tahun 2010. Meskipun demikian, justru pada saat ini kita harus mengakui bahwa ada gap antara pelaksanaan norma-norma nasional dan internasional. Walaupun pada kenyataannya Indonesia telah berkembang dengan menandatangani beberapa norma-norma internasional yang mendukung posisi perempuan, tidak semua langsung berhubungan dengan UNSCR 1325.
Untuk memahami perumusan RAN di Indonesia yan, perlu diketahui bahwa terdapat beberapa peraturan perundangan sebagai basisnya yang mengadopsi prinsip pengarusutamaan gender:
• Dalam RPJMN (rencana pembangunan jangka menengah nasional) 2010-2014, Keputusan Presiden No 5 / 2010 menyatakan bahwa perspektif gender harus diintegrasikan dalam proses pembangunan di berbagai bidang.
• (Instruksi Presiden) No.9 / 2000 menyatakan bahwa kebutuhan pengarusutamaan gender dalam proses pembangunan nasional termasuk perencanaan, konseptualisasi, pelaksanaan pemantauan, dan evaluasi.
• Keputusan Presiden Nomor 38 dan 41/2007, dalam hal pembagian kewenangan dan struktur organisasi di tingkat lokal menunjukkan bahwa di seluruh provinsi dan kabupaten harus memiliki pemberdayaan perempuan dan badan perencanaan keluarga yang bekerja sama dengan Bappeda dan SKPD.
Sementara dalam norma internasional, secara resmi, Indonesia telah mendukung Resolusi Dewan Keamanan PBB (UNSCR) 1325 pada tahun 2000. Tetapi studi LIPI dan HDC menunjukkan, sampai sekarang belum ada referensi untuk resolusi dalam perumusan kebijakan pemerintah. Satu-satunya nya referensi kebijakan berbasis gender di tingkat nasional adalah Konvensi 1979 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang terkandung dalam UU No 7 / 1984 di Indonesia dan kemudian UU No.22/2000 ' Program Nasional Pembangunan '. Hukum ini terdiri dari 26 kebijakan pembangunan peka gender di berbagai sektor, termasuk hukum, ekonomi, hak politik, pendidikan, sosial dan budaya dan lingkungan. Undang-undang ini diikuti dengan Keputusan Presiden (Inpres) Nomor 9 / 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan. Dengan keluarnya Inpres ini, maka sebuah daftar pengukuran dan peraturan telah dipersiapkan untuk mendorong pengarusutamaan gender di berbagai bidang.
Kemeneg PPA hingga saat ini adalah lembaga pemerintah yang menyadari bahwa UNSCR 1325, sebagai norma internasional, sebuah resolusi yang mewajibkan para anggota PBB untuk melaksanakan, sehingga dasar jaminan perlindungan dan pemberdayaan perempuan di wilayah konflik, dan menjamin keterlibatan perempuan dalam pengambilan proses pembuatan untuk isu-isu konflik dan perdamaian- sesuai dengan kondisi Indonesia. Sampai sekarang, Kemeneg PPA merumuskan RAN secara proaktif dengan dukungan kelompok masyarakat sipil. Menteri Pemberdayaan Perempuan memfasilitasi langkah-langkah untuk mengamati dan mendiskusikan,-dan bahkan kadang-kadang bertemu dengan departemen pemerintah lainnya untuk membahas kemungkinan untuk melangkah lebih jauh dalam mengadopsi UNSCR 1325 dalam sebuah rencana aksi nasional.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam pidato pembukaan di lokakarya di Jakarta, 24 Maret 2010 mengakui bahwa meskipun Indonesia telah menandatangani UNSCR 1325 (tahun 2000) tetapi sosialisasi resolusi juga terbatas. Untuk mengatasi hal ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah aktif dalam mengatur lokakarya dan seminar untuk membahas UNSCR 1325 dan perempuan lain isu-isu terkait karena Indonesia sedang dalam proses pengembangan UNSCR 1325 Rencana Aksi Nasional (RAN ). Proses ini dipimpin oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dengan bantuan dari Dana Kependudukan PBB (UNFPA).
Di Indonesia penyusunan RAN telah berpusat pada lokakarya dan seminar dengan focus pada partisipasi aktual perempuan dalam proses perdamaian atau konflik. Oleh karena itu, RAN 1325 merupakan awal mendorong untuk pelaksanaan pemetaan strategis. Pertemuan dengan instansi pemerintah lainnya telah diselenggarakan dengan berbagai masukan yang dibutuhkan dan sejumlah keprihatinan yang diangkat tentang perlunya rencana tersebut di Indonesia saat ini. Hal ini juga bisa dihargai sebagai pertanda baik bahwa badan pemerintah sekarang mengambil bagian aktif dalam agenda reformasi. Nama RAN P4DK merupakan hasil diskusi panjang di antara individu yang terlibat dalam perumusan di Hotel Paragon, Jakarta.
Manfaat RAN P4DK Bagi Indonesia
Sampai saat ini draft RAN sudah memasuki draft ke 12 sebagai hasil pembahasan lebih lanjut di Hotel Paragon yang difasilitasi oleh Kemeneg PPA dan UN Women. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari, pada pidato pembukaan Workshop Interfaith yang diselenggarakan oleh Komnas Perempuan (Komisi Nasional Perempuan) pada September 2010 menyebutkan bahwa "Resolusi ini sangat penting untuk dilaksanakan sebagai dasar perlindungan perempuan dan anak di Indonesia yang sering menjadi korban konflik. " Pernyataannya adalah bukti bahwa Indonesia kini sekarang di jalur yang benar untuk membuatnya RAN . Pertanyaannya kemudian, sejauh mana pemerintah dan masyarakat sipil dapat bekerja sama dan menyelesaikan RAN seperti yang direncanakan? dan bagaimana strategi implementasi RAN ?
RAN , jika melihat dari contoh-contoh yang berlaku di berbagai Negara berfungsi sebagai guidelines, yang sifatnya menjamin perlindungan hak warga Negara dalam situasi konflik bersenjata. Tidak semua Negara yang memiliki RAN mempunyai pengalaman sejarah konflik yang sama. RAN dengan demikian menyediakan persyaratan minimum yang harus dipenuhi untuk menjamin keselamatan warga negaranya, dalam hal ini, dengan mendorong keterlibatan perempuan di meja perundingan damai, seperti halnya laki-laki.
Dalam konteks Indonesia sebagai Negara dengan komposisi penduduk heterogen dari aspek kesukuan, keragaman kultural, serta posisi strategis secara geografis dan geopolitik, Indonesia merupakan aktor internasional yang cukup diperhitungkan. Meskipun, melihat kembali fase transisi politik yang diwarnai konflik kekerasan, adakalanya secara salah kaprah disebutkan bahwa heteroginitas itu menyebabkan konflik. Namun, jika melihat pelajaran dari resolusi konflik di Aceh, Poso dan Maluku, ternyata perdamaian bukanlah hal yang tidak mungkin. Pemetaan potensi perempuan sebagai pemeran perdamaian yang aktif dilakukan dalam konteks ini.
Pengalaman-pengalaman konflik sosial di berbagai wilayah dengan derajat penyebab yang berbeda-beda sudah tentu haris menjadi pertimbangan bagi para pengambil keputusan untuk membuat grand design penanganan konflik. Maka, endorsement RAN yang menjamin suara perempuan sebagai pihak yang aktif membangun perdamaian dan juga berperan dalam situasi pasca konflik adalah krusial. Suatu design RAN tentulah sebaiknya memuat aspek-aspek karakter lokal, seperti dicontohkan melalui suara dari Papua mengenai mekanisme resolusi konflik dan perdamaian yang informal. Hal ini merupakan urgensi dari perumusan RAN Indonesia yang mempunyai basis pengalaman perempuan dalam penyelesaian dan transformasi konflik.
Secara umum konteks damai di Indonesia (dalam arti nir konflik kekerasan komunal) saat ini –meskipun Papua belum dapat dikatakan damai—juga akan mendukung bagi realisasi RAN , sebab diskursus mengenai aspek-aspek conflict prevention hingga peace building telah sangat meluas tidak hanya di kalangan akademisi dan LSM, tetapi juga di kalangan masyarakat akar rumput dan terlebih lagi, perempuan, yang notabene merupakan stake holder perdamaian. Keberadaan RAN akan memberikan harapan baru terutama bagi perempuan di daerah-daerah yang dikategorikan daerah konflik karena ada jaminan pelibatan perempuan dalam semua proses perdamaian dan resolusi konflik. Ke depan, RAN bermanfaat dalam mendukung pembentukan sustainable peace di Indonesia yang menjamin terciptanya rasa aman dan kesejahteraan.
Dari aspek internasional, saat ini Indonesia menjabat sebagai Ketua ASEAN, sebuah organisasi regional yang dikuti oleh Negara-negara di Asia Tenggara. Posisi sebagai ketua berimplikasi suara Indonesia pun diperhitungkan di level internasional. Maka, endorsement RAN akan memberikan dampak baik pada citra Indonesia sebagai Negara yang menjunjung tinggi HAM, sebab aspek-aspek yang dikandung dalam RAN sesuai dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dan UUD 1945.
Draft RAN P4DK yang berada di tangan Bapak dan Ibu sekalian ini merupakan wujud dari kepedulian pemerintah dengan dukungan actor-aktor masyarakat sipil bahwa penyelesaian konflik dan membangun perdamaian membutuhkan peran aktof perempuan dan untuk itu harus dilindungi dengan payung hukum, dalam hal ini permenko, agar dapat dipastikan pelaksanaannya.
MAKNA STRATEGIS UTAMA
Secara keseluruhan RAN P4DK mencerminkan jaringan kerja yang baik dan maju antara pemerintah, donor, UN dan civil society
RAN P4DK mencerminkan kemajuan dari diskursus isu keamanan manusia, khususnya perdamaian, yang terkait dengan aspek gender dan ekonomi
RAN P4DK menunjukkan niat baik pemerintah melalui inisiatif untuk memajukan hak perempuan dan anak di daerah konflik
RAN P4DK menunjukkan integrasi berbagai aspek yang diperlukan untuk menjamin perdamaian jangka panjang dan keamanan. Perempuan tidak hanya dilihats ebagai korban yang harus dilindungi tetapi posisi mereka sebagai aktor aktif dalam proses perdamaian juga harus dipertimbangkan.
RAN P4DK merupakan buah dari reformasi yang secara khusus menunjukkan perubahan paradigma keamanan menjadi keamanan manusia dalam konteks pembangunan perdamaian.
(Irine H Gayatri)